Rabu, 13 April 2011

DINAMIKA PARTAI POLITIK DI INDONESIA

 
DINAMIKA PARTAI POLITIK  DI INDONESIA
                                Sebagai  mana yang kita ketahui bahwa partai politik di negara manapun merupakan lembaga infra struktur politik masyarakat yang menjalankan fungsi partisipasi politik,komunikasi politik dalam rangka pendidikan politik dan kampanye politik,artikulasi politik,dan agregasi kepetingan politik.Dalam teori kelembagaan partai politik merupakan sarana dalam medorong pembangunan politik bagi seluruh warga negara . Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi . Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”.Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties[1].
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ (Rousseau, 1762)[2] atau kepentingan umum (Perot, 1992) [3].
Ada pandangan kritis lain juga bahwa partai politik  sebenarnya sengaja didirikan untuk memperoleh kekuasaan serta memerintah atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Partai Politik adalah alat yang sah yang ditimbulkan dalam masyarakat modern untuk mengelompokkan berbagai kelompok dan kepentingan dalam masyarakat untuk diartikulasikan dalam kebijakan-kebijakan negara. Dengan demikian partai politik cenderung menjadi alat bagi sekelompok orang yang tergabung secara terorganisir yang memiliki landasan idilogis dan cita-cita yang sama tentang sebuah masyarakat dan negara yang dicita-citakan. Dengan demikian partai politik adalah sarana formal bagi berbagai kelompok elit pemerintah,partai politik dan pemodal untuk menyalurkan kepentingannya dan membicarakan kepentingan masyarakat untuk  mencapai cita-citakan mereka.
ANALISIS REVIEW
Dari penjelasan tentang partai politik yang di ungkapkan diatas maka analisis review yang menjadi pemikiran kritik tentang dinamika partai politik di Indonesia saya mengomentarinya dari awal kemerdekaan,masa orde lama , masa orde  baru dan masa era reformasi[4].
1.       Partai politik di Awal Kemerdekaan .
Sejak proklamasi kemerdekaan indonesia tanggal 17 Agustus 1945  ruang demokrasi yang luas untuk kepartaian terbuka lebar akan tetapi pada saat PPKI sebagai dewan konstituante  memutuskan membentuk satu partai tunggal dengan pertimbangan bahwa sistem multi partai akan memecah belah rakyat dan akan menimbulkan kekacauan dengan demikian di bentuklah Partai Nasional Indonesia.Tujuan utama pendirian partai ini adalah untuk memperkuat persatuan bangsa dan negara serta membela republik indonesia yang berdaulat, adil dan makmur .Inilah kebutuhan di dirikannya Partai Nasional Indonesia akan tetapi ketika terjadi protes  rakyat dan elit politik yang tidak setuju dengan satu partai tunggal maka pemerintah melalui wakil presiden M. Hatta mengeluarkan maklumat yang pada intinya berisi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Maklumat itu kemudian dikenal dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Partai politik yang muncul setelah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 dikeluarkan antara lain Masyumi, Partai Komunis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Parkindo, Partai Rakyat Jelata, Partai Sosialis Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katolik, Permai, dan PNI serta partai - partai kecil lainnya.
Dari terbukanya ruang demokrasi ini pemilu di anggap satu-satunya solusi untuk memilih pemimpin atau mengatur berbagai kebijakan negara dalam mengurus serta membagi kewenangan pemerintahan.
Di masa awal kemerdekaan ini partai politik belum berperan secara optimal sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Hal ini terlihat dari timbulnya berbagai gejolak dan ketidak puasan di sekelompok masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk gerakan-gerakan separatis seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun 1949, terbentuknya negara-negara koloni baru belanda yang bernuansa kedaerahan.Negara-negara baru ini sengaja diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan. Namun mengapa hal itu terjadi dan ditangkap oleh rakyat  di wilayah  itu? Jawabannya adalah bahwa aspirasi rakyat berbelok arah mengikuti aspirasi penjajah, Karena tersumbatnya saluran aspirasi yang disebabkan kapasitas sistem politik. Negara baru buatan belanda ini sesungguhnya  merupakan politik “devide at impera” Belanda. Belum cukup memadai untuk mewadahi berbagai aspirasi yang berkembang. Di sini boleh dikatakan bahwa rendahnya kapasitas sistem politik, lebih disebabkan oleh karena sistem politik masih berada pada tahap awal perkembangannya.Artinya kondisi ini bisa di maklumi.
2.      Partai Politik di Masa Orde Lama.
Peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai dan/ atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai akibat dari pada itu  adalah terjadinya ketidak stabilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, partai politik tidak berfungsi dan politik dijadikan panglima, aspirasi rakyat tidak tersalurkan akibatnya kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa kepentingan politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak puasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak disertai dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.
3.      Partai Politik di Masa  Orde Baru.
Peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dicoba ditata melalui UU No. 3 Tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak di tata menjadi 3 kekuatan sosial politikyang terdiri dari 2 partai politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik tersebut ternyata tidak membuat semakin berperannya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. Partai politik yang diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal menjadi kebijakan publik yang populis tidak terwujud. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan publik yang dihasilkan pada pemerintahan orde baru ternyata kurang memperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Akibatnya pembangunan nasional bukan melakukan pemerataan dan kesejahteraan namun menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat oleh pemerintahan orde baru tidak ditempatkan sebagai kekuatan politk bangsa tetapi hanya ditempatkan sebagai mesin politik penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan semata. Akibatnya peran partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul terbukti nyaris bersifat mandul dan hampir-hampir tak berfungsi.
4.      Partai Politik di Masa Reformasi.
Di masa inilah partai politik,mendapatkan ruang yang luas  untuk mewujudkan wujud diri sebagai organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Namun harapan ini membentur pada konflik antara partai politik  dimana dalam pemilu 1999,  terjadi penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.Ini artinya partai politik menyuarakan kepentingan rakyat akan tetapi secara dalam hubungan dengan partai berada dalam masaha ketidak profesionalan.Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau Negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945  dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan walau terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat[5].
Kemudian alam kepemimipinan Megawati Soekarno purti kekuatan kepartaian terus menguat terutama persaingan politik antara aliran politik nasionalis dan aliran politik agamis.Golongan Karya bagaimanapun juga mempunya hubugan historis yang tidak perna berbarengan degan PDI - Perjuangan.Kekuatan nasionalis terpecah menjadi dua bagian.Peluang ini di manfaatkan kelopok nasionalis lainnya untuk menaikan citra politik masanya dengan melakukan pembusukan dari luar terhadap partai-partai lama yang berkuasa .Dalam pemilihan Umum 2004 Partai Nasionalis aliran nasionalis – religus yakni demokrat memenagkan pemilihan presiden secara langsung.SBY – JK .Golkar memainkan JK sebagai calon dari partai Golkar dan kolaborasi yang menarik mernjadi kekuatan yang cukup sepurna dan Persoalan lain adalah degan adanya partai politik yang terlalu banyak dalam pemilu setelah selesai pemilihan umum presiden dan legislatif dan eksekutif di puat daerah propinsi,kabupaten/kota mengalami masalah yang berkebanjangan yang kemudian berdampak pada tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi hamper di seluruh Indonesia.Dengan sejumlah masalah yang banyak dalam dalam pemilihan-pemilihan umum partai politik di Indonesia mendapat riuang yang besar dan menda[patkan pemasukan dari para kandidikat yang maju menjadi  calon di legislattif maupun di eksekutif.Peran partai politik semakin kuat  dabn semakin tidak terkontrol dalam pemilihan umum 2009 Partai politk tetap menjadi lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik para politisi yang hendak mencalonkan diri.Karena partai politik sudah menjadi lembaga yang moderat di pemilihan umum 2009 untuk pemilihan presiden SBY merangkul orang netral dan sebagai ekonom dan itu adalah suatu strategi yang menarik sehingga dalam pemilihan umum 2009 SBY - Boediyono menang dalam pemilihan umum 2009 dan yang menjadi pertanyaan hingga hari ini partai demokrat menang dalam pemilihan umum 2009 dari mana kemenagan itu dan bagaimana kemenagan itu sampai hari ini pertanyaan itu menjadi misterius dan belum ada jawabannya.Kasus Cikias di angkat dalam rangkaian menjawab pertanyaan itu akan tetapi kasus cikias menghilang begitu saja.Kasus Ceanturypun demikian ,Kasus Mafia Pajakpun demikian dan berbagai kasus korupsi di masa kepemimpina SBY-JK dan SBY-Boediyono saat ini.
Partai politik menjadi kendaraan politik yang mempunyai legitimasi yang kuat akan tetapi kepentingan rakyat sudah tidak lagi terlihat secara nyata oleh karena partai politik menjadi alat elit politik.


1. Schattscheider (1942), Party Government, New York, Farrar & Rinehart, Inc., 1942. xx, 220 pp.

[2] Jean Jacques Rousseau1762, The social contract Or principles of political right,Translated by G. D. H. Cole, public domain Rendered into HTML and text by Jon Roland of the Constitution Society.
[3] . H. Ross Perot ,(199), United We Stand., Text of the book published by Perot in 1992 to mark the launch of his Presidential campaign, complete with charts. The text is hosted by the site of the organization he created that year United We Stand America, as saved by The Internet Archive..
[4] Miriam Budiardjo,2007,Dasar-dasar Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta edisi revisi.hal.171.
[5] Kegagalan membentuk Komisi Konstitusi yang dilakukan DMR dalam siding tahunan 2001 menimbulkan gelombang protes dari organisasi non pemerintah-LSM, mereka menganggap kegagalan tersebut sebagai manifestasi keengganan Majelis. Begitu juga dari Koalisi Organisasi Nonpemerintah (Ornop) untuk Konstitusi Baru, Hendardi sebagai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusioa Indonesia (PBHI) meyerahkan cinderamata kepada MPR antara lain berupa korek kuping raksasa serta cek multiguna Rp 100 juta bertuliskan “alat penyogok yang sah untuk Dewan bukan Perwakilan Rakyat” karena telah menyerahkan atau melimpahkan pembentukan Komisi Konstitusi ke Badan Pekerja (BP) MPR yang sesungguhnya tidak lebih dari proses sebelumnya, yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Lihat Heru Cahyono, Ibid., hal. 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar