Rabu, 13 April 2011

BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.

 
                              BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.Sebagian besar wilayah indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute[1].
ANALISIS KRITIS
BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.
1.      Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Lama[2].
            Pada masa awal kemerdekaan, negara ini mengalami perubahan bentuk negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur negara atau birokrasi. Perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi Pada saat itu, Pertama,  masdalah yang di hadap pemerntah adalah bagaimana cara menempatkan pegawai republik indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Kinerja birokrasi saat itu sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai, Bureaucratic Polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.
            Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan, merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno “memelihara”, PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebagai penampung aspirasi mereka.Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii)[3], sejak indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay, antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU yang pada akhirnya orde lama membubarkan masyumi dan PSI sebagai partai penyaing PKI dan PNI.
Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa orde lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian cabinet rerus menerus.
2.      Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Baru[4].
            Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya, hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar[5]. Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari ;1). Kantor kepresidenan yang kuat, 2). Militer yang aktif berpolitik, dan 3). Birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan[6]. (dalam Maliki, 2000: xxiii) .
Sistem birokrasi yang berlaku di indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
Birokrasi di indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi- meskipun tidak penuh- model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Jadi Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada ;1).Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi, 2).Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat dan 3).Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah. Reformasi birokrasi hanya menjadi kekuatan elit dan partai politik yang berkuasa .
3.      Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Reformasi.
            Pada era reformasi  usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan.BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Aturan lainpun di terbitkan seperti;Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.
ANALISIS PENUTUP
            Birokrasi sebagai kekuatan politik di indonesia adalah merupakan bagian dari upaya untuk melangengkan hubungan antara pimpinan dengan birokrat itu sendiri .Paradigma ini yang sering di temukan dalam pemerintaha dalam negara.Kemudian budaya politik yang ada di indonesia adalah budaya paternalistik sehingga ketika pemimpin dari salah satu kelompok atau golongan maka sudah otomatis secara struktural dan secara kultural penempatan orang  dalam birokrasi akan terlaksana seperti sistem kesukuan yang ada dalam pemimpin tersebut.Faktor lain yang mempengaruhi birokrasi sehingga tidak professional partai politik turun mempunyai peran yang sangat besar dalam menetukan orang dalam pemrintahan dan politik.Kondisi ini di hadapi  dalam penyelengaraan pemrintahan yag ada di Indonesia dari era orde lama,era orde baru dan sekarang era reformasi ini.Ini artinya bahwa skil kualitas dari pada pelayanan birokrat di tentukan oleh keputus-keputusan politk dari pemimpin yang berkuasa.
            Profesionalisme pelayanan kepada masyarakat hanyalah menjadi sebuah impian yang sampai hari ini terus di mimpikan, sementara perkembagan dunia semakin maju dan birokrasi indonesia masih tertidur lelap.Inilah kondisi riil dari birokrasi di indonesia yang hanya menjadi kekuatan politik untuk kepentingan elit politik dan kelompok atau golongan tertentu  bukan menjadi pengabdian masyarakat yang benar-benar sesuai dengan pangilan hidup sebagai pelayan masyarakat dan hal ini penting menjadi cermi dalam pembinaan mental dan karakter birokrat dan politisi serta elit pemerintah dalam pembangunan politik yang baik dan bermanfaat.


[1] Bisa di baca dalam bukunya Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.
[2] Ibid.
[3] Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ismani. 2001, “Etika Birokrasi”, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 – 41.
[6] Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar