Jumat, 15 April 2011

TEORI KELAS ( Karl Marx dan Marx Weber)

                                  TEORI KELAS ( Karl Marx dan Marx Weber) .
Berbicara mengenai teori kelas dalam studi politik tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran teoritisi seperti Marx dan Weber. Walaupun pandangannya mengenai kelas ini berbeda, kedua tokoh ini telah memberikan banyak kontribusi pada studi elite politik, terutama dalam memecahkan masalah konflik antar kelas. Terilhami dari Marx dan Weber, Chilcote memberikan formulasi yang berbeda untuk mempermudah memahami teori kelas, yakni berpedoman pada lima mahzab (Pluralisme, Instrumentalisme, Strukturalisme, Kritikalisme, serta Statisme dan Pertarungan Kelas) yang semuanya memberikan penjelasan tersendiri dalam memahami kelas.Ronald H. Chilcote melihat dari pendekatan epistemologi dengan mengadopsi dari beberapa mahzab yang berbeda untuk menjelaskan teori kelas. Menurutnya, beberapa mahzab tersebut dapat menjelaskan beberapa fenomena konflik kelas yang terjadi di dunia karena masing-masing mempunyai karakter tersendiri. Misalnya, pluralisme lebih jelas dan cocok menjelaskan fenomena politik di Amerika Serikat, sedangkan instrumentalisme lebih banyak dibahas oleh kelompok penstudi politik di Inggris, strukturalisme juga telah banyak mempengaruhi pemikiran pergolakan politik di Perancis, terutama pada masa Napoleon, kritikalisme merupakan pemikiran yang banyak dimiliki oleh ilmuwan Jerman, serta mahzab statisme dan pertarungan kelas mewakili banyak teoritisi yang membahas teori kelas ini.Pluralisme :Para ilmuwan mahzab ini umumnya membahas karakter pluralis dari politik Anglo-American. Pluralisme meyakini bahwa demokrasi pada hakikatnya berdasar pada bermacam-macam kepentingan dan penyebaran kekuasaan. Pluralisme ini berangkat dari ekonomi liberal dimana hak-hak kepemilikan individu dan kepentingan privat sangat dijunjung tinggi. Tokoh-tokoh pluralis seperti John Locke, Jeremy Bentham, James Madison, Arthur Bentley dan David Truman sering disebut sebagai teoritisi elit demokrasi. Dasar pemikiran teori elit klasik demokrasi adalah pada setiap masyarakat minoritas dalam sebuah pembuatan keputusan.Tiga konsep dasar dari pemikiran ini adalah interest group, power dan konflik. Setiap individu harus memperhatikan dan mematuhi aturan dan norma bersama serta kepentingan dalam kelompoknya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi konflik kepentingan dalam kelompok itu. Seseorang yang mempunyai kapasitas power yang lebih tinggi seharusnya mengayomi kelompoknya sehingga dapat mengendalikan dan mencegah adanya konflik.Instrumentalisme : Instrumentalis berpendapat bahwa kaum elite dapat menguasai seluruh elemen masyarakat. Pembagian struktur kekuatan dalam sebuah komunitas pada dasarnya dapat dilihat dari stratifikasinya apakah termasuk upper classes atau bukan. Cara untuk mengidentifikasinya dengan beberapa indikator, yakni pendapatan, okupasi, tempat tinggal dan daya konsumsi. Mereka yang disebut sebagai upper classes dapat mengatur sesuai kehendaknya dan mereka mendominasi kekuatan dengan yang lain dan biasanya terpisah dari komunitas lower classes.Dalam menganalisis fenomena yang ada, terutama pada konflik kelas, perspektif instrumentalisme cenderung melihat dari alat dan struktur kekuasaan dalam institusi. Banyak pihak yang mengatakan teori ini mengadopsi dari liberalisme korporasi. Sedangkan instrumentalisme marxis menurut Miliband cenderung berpedoman bahwa para eksekutif pemerintahan tak ubahnya dibawah kontrol borjuis, pemerintah hanya dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan sesuai yang diinginkan kaum kapitalis.Kelemahan teori ini adalah bahwa sebenarnya Marx tidak melihat bahwa kelas sosial itu bersifat dinamis dan bukan statis seperti apa yang dikatakannya.hanya mengenai instrumen dan pola produksi tetapi seharusnya mempertimbangkan faktor sosial lainnya.Strukturalisme : Strukturalisme memandang mekanisme negara sebagai suatu aktor untuk menata kapitalis. Perspektif ini memfokuskan diri pada posisi kelas yang ada. Strukturalisme politik menurut Gramsci menekankan pada posisi hegemoni atau dominan dari kelompok sosial. Krisis hegemoni sama halnya dengan krisis otoritas atau krisis negara. Teori tentang sistem dunia yang berdasarkan kerangka Marxisme adalah Immanuel Wallerstein tentang perkembangan sejarah perekonomian kapitalis. Wallerstein memberikan banyak tekanan pada perekonomian dunia dan cenderung mengabaikan politik internasional. Beliau mempercayai bahwa perekonomian dunia sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari wilayah core, semi periphery, dan periphery. Prospek jangka panjang adalah kehancuran sistem kapitalis, sebab kontradiksi dari sistem tersebut sekarang dibiarkan pada skala dunia. Ini merupakan ancaman bagi kapitalisme global, ketika kemungkinan perluasan semuanya digunakan, upaya tanpa akhir dalam mencari keuntungan akan mengakibatkan pada krisis baru dalam perekonomian kapitalis dunia yang cepat atau lambat, akan menuju kehancurannya. Kritikalisme: Kritikalisme dikembangkan oleh sekelompok kecil ilmuwan Jerman yang dikenal sebagai mahzab Frankfrut. Menurut teori kritis, tidak ada politik dunia atau ekonomi global yang berjalan sesuai dengan hukum sosial yang kekal. Dunia sosial merupakan konstruksi waktu dan tempat, politik internasional merupakan konstruksi khusus dari negara yang paling kuat. Pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun politik atau ideologi. Pengetahuan membuka suatu kecenderungan menuju kepentingan, nilai-nilai, kelompok-kelompok, golongan, kelas-kelas, dan seterusnya.Statisme dan Pertarungan Kelas: Esping - Andersen, Friedland, dan Wright (1976) berusaha menghubungkan antara pertarungan kelas, struktur negara, dan kebijakan negara. Menurutnya negara yang mengambil kebijakan untuk menganut sistem liberal kapitalis telah menciptakan adanya kelas-kelas seperti halnya yang dijelaskan Marx. Perbedaan kelas ini memicu adanya pertarungan kelas. Negara tidak bisa lagi membendung kekuatan kapitalis karena kapitalis telah menguasai struktur negara tersebut. Mahzab ini menjelaskan mengenai penyebab pertarungan kelas yang diakibatkan oleh kebijakan negara itu sendiri. Isu dalam Menganalisis Kelas: Dalam memahami teori kelas, Chilcote memberikan indikasi untuk mengidentifikasi kelas melalui peran negara dan pengaturan kelas, mengkategorikan kelas tersebut, mengkonseptualisasikan kelas, menghubungkan landasan dan suprastruktur,serta melihat implikasi dari prekapitalis dan formasi sosial kapitalis.
                                                      REFERENSI: .
Chilcote, Ronald. H., “The Theories of Comparative Politics”, The Search for a Paradigm, Westview Press, 1981. http://edoseptianpermadi.blogspot.com/2009/03/beberapa-perspektif-dalam-memahami.html

GAGASAN - GAGASAN KEKUASAAN JAWA.

GAGASAN - GAGASAN KEKUASAAN JAWA Menurut Budiardjo,(1991 : 44-52).Untuk menjelaskan Kekuasaan dalam pandangan jawa kita dapat memahaminya lebih dahulu pandangan eropa modern. Gagasan-gasan Jawa dalam pandang eropa dapat di bagi dalam pandangan kekuaasaan yang berhubungan degan ; 1). Kekuasaan itu Abtrak : Kekuasaan adalah kata yang biasa di gunakan untuk menerangan suatu hubungan atau lebih seperti kata - kata kewibawahan atau keabsahan maka kekuasaan adalah abstrak suatu rumusan untuk interakski sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati.Jadi kekuasaan ada dalam berbagai macam keadaan dan dimana sebagian orang kelihatan patuh pada kemauan orang lain baik dengan sukarelah maupun tidak. 2).Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen : Kekuasaan yang besifat heterogen berhubungan dengan materi seperti jabatan, kekayaan, organisasi, jumlah penduduk dan lain sebagainya. Jadi dengan kekuasaan yang bersifat heterogen dapat mempengaruhi kebijakan atau tingka laku dalam suatu masyarakat bangsa dan negara. 3). Akumulasi kekuasaan tidak ada batasan - batasan yang iheren : Akumulasi kekuasaan yang tak terbatas di peroleh dengan penguasan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga pengaruhnya pada keseluruhan aspek yang berhubungan sangat luas dengan aspek-aspek yang lain yang bersifat iheren dan 4). Dari segi moral kekuasaan itu bersifat ganda : Kekuasaan di di dapat dari sumber- sumber yang heterogen.Sifat heterogen ini telah memberikan tekanan kepada pentingnya dan rumitnya suatu masalah yang terus menjadi pemikiran para ahli teori politik. Pemikiran kekuasaan di atas pada dasarnya sangat luas dan berhubungan dengan budaya pemikiran barat atas dasar itu lahirlah sebuah singkronisasi riil pemikiran kekuasaan jawa secara riil terdiri dari; 1). Kekuasan itu kongkrit : Ini adalah dasar pemikiran pertama dan pokok dari pemikiran politik jawa.Kekuasaan itu ada dan terlepas dari orang yang mungkin mempergunakannya.Kekuasaan bukan suatu anggapan teoretis melainkan suatu realitas yang benar - benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak dapat di rabah,penuh misteri dan yang bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta.Kekuasaan terwujud dalam aspek dunia alami,pada batu,kayu awan dan api tetapi tidak di nyatakan secara murni dalam misteri pokok kehidupan yaitu proses generasi dan regenerasi.Dalam pemikiran tradisional jawa tidak ada garis batas yang tegas antara zat organis dan zat inorganis karena segalah sesuatu di topang dengan kekuasaan sama yang tidak kelihatan.Konsep yang menyatakan bahwa seluruh kosmos ini di penuhi oleh suatu daya yang tidak berbentuk tetapi selalu kreatif, yang adalah kaitan dasarnya antara kepercayaan animisme dan dinamisme yang terdapat di desa - desa yang ada di jawa dan paham pantaisme yang tinggi yang terdapat di pusat - pusat perkortaan. 2). Kekuasaan itu homogen : Dari konsepsi ini timbuk dari pendapat bahwa kekuasaan itu sama jenis dan sama pulah sumbernya.Kekuasaan di satu orang atau suatu kelompok yang adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok manapun. 3). Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tepat : Menurut pandangan orang jawa alam semesta tidak tertabah luas dan tidak pulah bertambah sempit.Demikian pulah jumlah kekuasaan yang terdapat di dalamnya selalu tetap,karena kekuasaan itu ada dengan sendirinya dan bukan merupak hasi dari organisasi,kekayaan,persenjataan dan lain sebagainya dan 4).Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan : Karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen maka kekuasaan lebih dahulu ada dari pada masalah-masalah baik dan buruk.Menurut cara pikir orang jawa menuntut hak berkuasa berdasarkan sumber - sumber kekuasaan yang berbeda - beda tidak akan ada artinya misalnya mengatakan bahwa kekuasaan yang berdasarkan kekayaan adalah absah sedangkan kekuasaan yang berdasarkan senjata tidak absah.Apakah kekuasaan itu absah atau tidak absah keduanya adalah kekuasaan yang selalu di peroleh dan ada dalam masyarakat. Dari pandangan di atas maka kekuasaan menurut orang jawa di simpulkan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang kongkrit, homoge, tetap jumlah keseluruhannya dan kekuasaan tidak mimiliki implikasi - implikasi moral yang iheren. DAFTAR PUSTAKA : Miriam Budiardjo,1991,Aneka pemikiran tentang kekuasaan dan Wibawa,Pustaka Sinar Harapan,Cawang Jakarta Timur.

THE MILITARY IN DEMOCRATIC TRANSITIONS: COMPARATIVE PERSPECTIVE

THE MILITARY IN DEMOCRATIC TRANSITIONS: COMPARATIVE PERSPECTIVE (INDONESIA,LATIN AMERIKA) MENURUT FELIPE AGÜERO Dalam demokrasi baru di indonesia dan Amerika latin militer adalah salah satu aktor yang paling rentan terhadap tingkat tinggi otonomi, sehingga dapat menghindari otoritas pejabaran yang terpilih dari masyarakat.Otonomi biasanya dipertahankan dari rezim militer-otoriter, tetapi sering diperluas selama atau setelah transisi demokratis.Hal ini terjadi terutama dalam kasus-kasus di mana militer tenang dan diredakan setelah aturan dan birokrasi militer di mana otoritas sipil baru dan lembaga terlalu lemah untuk menyatakan kepemimpinan dan kontrol.Di Meksiko, misalnya, pada akhir dekade pemerintahan satu partai di mana militer secara substansial tenang membuka kesempatan untuk tingkat otonomi yang baru, dengan pemimpin militer pernah terjadi sebelumnya berbicara tentang isu - isu politik, dan memperluas militerisasi dari polisi. Di Brazil, militer juga melihat otonomi yang ditingkatkan selama fase pertama demokratisasi. Bahkan di Spanyol militer memperoleh beberapa otonomi sebelum mengekang dengan militer berani, dan reformasi pertahanan.Di Chile, warisan konstitusional dari otoritarianisme masih memberikan tingkat besar militer otonomi, walaupun lebih rendah dari pada awal redemokratisasi. Banyak kasus di asia sifat serupa ditampilkan misalnya di Indonesia 20 tahun di masyakat sipil hidup di bawah kepemimpinan militeristik soekarno dan 32 tahun masyarakat sipil hidup di bawah rezim kediktatoran Soeharto.Dalam kasus demokratisasi setelah kematian aturan neopatrimonial, seperti di banyak Negara Afrika, faksionalisme militer di sepanjang garis etnis atau sumber lainnya dengan kesetiaan menjadi baik dan ini merupakan sebuah peluang dan risiko besar. Di beberapa tempat (Niger, Burundi) militer memblokir demokratisasi di tahun 1990-an sementara di tempat lain (Nigeria, Ghana) mereka telah menyebabkan persetujuan tanpa batas atas tekanan militer.Namun, akhirnya aturan militer seperti di nigeria, membuka jalan untuk meningkatkan tingkat kekerasan sosial, menyulitkan upaya untuk mereformasi keamanan di berbagai sektor.Ini artinya bahwa tekanan militer yang semakin kuat ketika otonomi daerah di berikan negara kepada daerah dengan dukungan anggarannya yang besar.Hal ini menjadi peluang penting bagi berkembangnya kekuasaan militer terutama dalam mengembangkan bisnis militer contok kasus di Chili (dan sekarang dalam perdebatan di Peru). bisnis militer yang dikelola memiliki dalam banyak kasus-Filipina, Indonesia, Thailand, Ekuador berkembang biak di luar kontrol sipil nasional dalam pendidikan atau bahkan pejabat pertahanan militer atas jarang mengawasi pendidikan. Pihak militer telah diperoleh banyak pendapatan di banyak negara otonomi lengkap menentukan orientasi pendidikan dan isi, serta kemampuan untuk menyediakan derajat akademik termasuk untuk warga sipil di akademi militer atau universitas militer yang terkait. Pihak militer juga menganggap dirinya berhak untuk mendefinisikan patriotisme, kehormatan, dan konsep-konsep seperti yang lain, dan untuk mengerahkan perwalian dari kepentingan mereka dan secara nasional kepentinan militer mendapat keadilan dalam kepentingan mereka yang adalah juga umumnya terpisah dan di luar yurisdiksi pengadilan nasional. Dalam kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di bawah sebelumnya militer-otoriter rezim berbagai tingkat impunitas telah menang, dan pelanggaran di bawah baru rezim demokratis jauh dari sepenuhnya dieliminasi. Dalam banyak kasus militer terusuntuk menegaskan pengawasan atas polisi. Negara reformasi, dipandang sebagai akomodasi dari sektor publik untuk reformasi pasar atau tuntutan akuntabilitas dan partisipasi,umumnya melewati militer, di mana tingkat tinggi dan inefisiensi administrasi tidak adanya pertanggun jawaban sering luas.Dari kondisi ini Felipe Agüero merekomendasikan solusi sebagai berikut ;1).Kebijakan harus mengikuti pendekatan terpadu yang dilihat semua elemen dari sektor keamanan pada dasarnya saling terkait.Namun, terpadu dan pendekatan yang komprehensif harus menjaga pemisahan yang ketat antara militer, polisi, dan intelijen fungsi, dan tetap sadar akan hubungannya dengan perkembangan lembaga-lembaga negara lain, masyarakat politik dan masyarakat sipil,2).Bahan yang paling penting dari keberhasilan dalam melawan ancaman terhadap demokrasi di daerah ini mapan kepemimpinan sipil yang kebijakan yang konsisten dan gigih dan bekerja melalui rantai komando yang jelas. Mengembangkan pusat lembaga, seperti pembentukan dan pemberdayaan dari-sipil yang dipimpin kementerian pertahanan, sangat penting untuk mewujudkan kepemimpinan itu, 3). Dewan Penasehat untuk kepemimpinan politik atas harus mencerminkan bahwa keterkaitan serta masukan politik terutama sipil dari kedua politik dan masyarakat sipil, 4).Internal kontrol serta akuntabilitas eksternal dan pengawasan yang sangat diperlukan untuk kedua efektivitas dalam kinerja dan sesuai dengan supremasi hukum. kertas putih dan jenis lainnya yang serupa laporan telah berguna dalam menghasilkan debat sehat, dan menghasilkan kondisi bagi keterlibatan berbagai aktor dalam pengawasan,5).Lembaga untuk kepemimpinan eksekutif dan kontrol serta orang-orang untuk pengawasanharus mengembangkan staf sipil ahli yang memungkinkan untuk kebijakan yang efektif dan berkesinambungan bimbingan dan kontrol. Institusi untuk penelitian di bidang ini baik di dalam dan di luar sektor publik diperlukan untuk mendukung kepemimpinan, kontrol, dan pengawasan, 6).Partisipasi aktif dan keterlibatan dalam organisasi internasional resmi membantumenegaskan kepemimpinan politik sipil dan kontrol atas badan-badan sektor keamanan. Langsung militer untuk hubungan militer atau serupa yang melibatkan instansi lain harusdiawasi secara ketat. Militer memimpin dan kebijakan hubungan luar negeri seperti dariKomando Selatan AS terhadap Amerika Latin harus de-ditekankan,7).Organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi hak asasi manusia dan berpikir tangki harus dibawa untuk debat publik tentang masalah keamanan dan kebijakan serta untuk fungsi pengawasan dan 8).Kebijakan khusus harus dikembangkan untuk alamat dan counter nilai-nilai dan sikap kesenjangan antara anggota badan-badan sektor keamanan dan masyarakat.Kepemimpinan dan kontrol atas komponen pendidikan di sektor keamananharus menjadi prioritas, bersama-sama dengan cara lain untuk menjembatani kesenjangan ini. Di banyak kasus ini seharusnya juga berarti debat publik terus laporan oleh kebenaran komisi dan pelaksanaan rekomendasi mereka. DAFTAR PUSTAKA : Felipe Agu”ero.Soldier,Civilias and Democracy: Post – Franco Spain in comparative perspective.Baltimore.John Hopkinns University Press.1955.

Rabu, 13 April 2011

BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.

 
                              BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.Sebagian besar wilayah indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute[1].
ANALISIS KRITIS
BIROKRASI DI INDONESIA : KEKUATAN-KEKUATAN POLITIK.
1.      Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Lama[2].
            Pada masa awal kemerdekaan, negara ini mengalami perubahan bentuk negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur negara atau birokrasi. Perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi Pada saat itu, Pertama,  masdalah yang di hadap pemerntah adalah bagaimana cara menempatkan pegawai republik indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Kinerja birokrasi saat itu sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai, Bureaucratic Polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik dari tingkat daerah hingga pusat terkendali di tangan seorang Presiden. Sistem ini dikenal sebagai sistem demokrasi terpimpin.
            Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam birokrasi. Birokrasi menjadi tidak professional dalam menjalankan tugas-tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak berdasarkan, merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik terhadap partainya.
Kekuatan politik pada saat itu yang ada adalah Sokarno sebagai seorang Presiden berikut kekuatan pendukungnya, PKI, dan TNI. Namun kekuatan politik terbesar ada pada presiden serta PKI sebagai partai terbesar setelah PNI. Tak heran jika untuk memperkuat posisi kekuasaan presiden, Soekarno “memelihara”, PKI sebagai kekuatan pendukung. Untuk dapat mengontrol rakyat yang kritis dan dianggap membahayakan, dibentuklah serikat-serikat atau organisasi yang berbasiskan profesi, atau perkumpulan lainnya yang bertujuan sebagai penampung aspirasi mereka.Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii)[3], sejak indonesia mempunyai perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya, interplay, antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu, Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU yang pada akhirnya orde lama membubarkan masyumi dan PSI sebagai partai penyaing PKI dan PNI.
Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa orde lama, birokrasi cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian cabinet rerus menerus.
2.      Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Baru[4].
            Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakan kehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya, hegemonic party system diistilahkan oleh Afan Gaffar[5]. Sedangkan menurut William Liddle, kekuasaan orde baru terdiri dari ;1). Kantor kepresidenan yang kuat, 2). Militer yang aktif berpolitik, dan 3). Birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan[6]. (dalam Maliki, 2000: xxiii) .
Sistem birokrasi yang berlaku di indonesia pada masa orde baru tidak dapat dilepaskan dari sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan pemerintahan Orde Lama. Masing-masing tahap tersebut membawa corak birokrasi sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan, sebagai kelompok elit pemerintahan.
Birokrasi di indonesia pada jaman orde baru sebagai birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.Birokrasi model Parkinson ini menjelaskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan. Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisein dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.Pada masa orde baru ini terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu. Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi- meskipun tidak penuh- model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai, tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Jadi Reformasi birokrasi yang dilakukan pada masa orde baru bersifat semu. Birokrasi diarahkan pada ;1).Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi, 2).Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat dan 3).Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah. Reformasi birokrasi hanya menjadi kekuatan elit dan partai politik yang berkuasa .
3.      Birokrasi sebagai Kekuatan Politik di Era Orde Reformasi.
            Pada era reformasi  usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan.BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Aturan lainpun di terbitkan seperti;Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di negara-negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.
ANALISIS PENUTUP
            Birokrasi sebagai kekuatan politik di indonesia adalah merupakan bagian dari upaya untuk melangengkan hubungan antara pimpinan dengan birokrat itu sendiri .Paradigma ini yang sering di temukan dalam pemerintaha dalam negara.Kemudian budaya politik yang ada di indonesia adalah budaya paternalistik sehingga ketika pemimpin dari salah satu kelompok atau golongan maka sudah otomatis secara struktural dan secara kultural penempatan orang  dalam birokrasi akan terlaksana seperti sistem kesukuan yang ada dalam pemimpin tersebut.Faktor lain yang mempengaruhi birokrasi sehingga tidak professional partai politik turun mempunyai peran yang sangat besar dalam menetukan orang dalam pemrintahan dan politik.Kondisi ini di hadapi  dalam penyelengaraan pemrintahan yag ada di Indonesia dari era orde lama,era orde baru dan sekarang era reformasi ini.Ini artinya bahwa skil kualitas dari pada pelayanan birokrat di tentukan oleh keputus-keputusan politk dari pemimpin yang berkuasa.
            Profesionalisme pelayanan kepada masyarakat hanyalah menjadi sebuah impian yang sampai hari ini terus di mimpikan, sementara perkembagan dunia semakin maju dan birokrasi indonesia masih tertidur lelap.Inilah kondisi riil dari birokrasi di indonesia yang hanya menjadi kekuatan politik untuk kepentingan elit politik dan kelompok atau golongan tertentu  bukan menjadi pengabdian masyarakat yang benar-benar sesuai dengan pangilan hidup sebagai pelayan masyarakat dan hal ini penting menjadi cermi dalam pembinaan mental dan karakter birokrat dan politisi serta elit pemerintah dalam pembangunan politik yang baik dan bermanfaat.


[1] Bisa di baca dalam bukunya Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.
[2] Ibid.
[3] Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.
[4] Ibid.
[5] Gaffar, Afar. 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ismani. 2001, “Etika Birokrasi”, Jurnal Adminitrasi Negara Vol. II, No. 1, September 2001 : 31 – 41.
[6] Maliki, Zainuddin. 2000, Birokrasi, Militer, dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.

DINAMIKA PARTAI POLITIK DI INDONESIA

 
DINAMIKA PARTAI POLITIK  DI INDONESIA
                                Sebagai  mana yang kita ketahui bahwa partai politik di negara manapun merupakan lembaga infra struktur politik masyarakat yang menjalankan fungsi partisipasi politik,komunikasi politik dalam rangka pendidikan politik dan kampanye politik,artikulasi politik,dan agregasi kepetingan politik.Dalam teori kelembagaan partai politik merupakan sarana dalam medorong pembangunan politik bagi seluruh warga negara . Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi . Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”.Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties[1].
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ (Rousseau, 1762)[2] atau kepentingan umum (Perot, 1992) [3].
Ada pandangan kritis lain juga bahwa partai politik  sebenarnya sengaja didirikan untuk memperoleh kekuasaan serta memerintah atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Partai Politik adalah alat yang sah yang ditimbulkan dalam masyarakat modern untuk mengelompokkan berbagai kelompok dan kepentingan dalam masyarakat untuk diartikulasikan dalam kebijakan-kebijakan negara. Dengan demikian partai politik cenderung menjadi alat bagi sekelompok orang yang tergabung secara terorganisir yang memiliki landasan idilogis dan cita-cita yang sama tentang sebuah masyarakat dan negara yang dicita-citakan. Dengan demikian partai politik adalah sarana formal bagi berbagai kelompok elit pemerintah,partai politik dan pemodal untuk menyalurkan kepentingannya dan membicarakan kepentingan masyarakat untuk  mencapai cita-citakan mereka.
ANALISIS REVIEW
Dari penjelasan tentang partai politik yang di ungkapkan diatas maka analisis review yang menjadi pemikiran kritik tentang dinamika partai politik di Indonesia saya mengomentarinya dari awal kemerdekaan,masa orde lama , masa orde  baru dan masa era reformasi[4].
1.       Partai politik di Awal Kemerdekaan .
Sejak proklamasi kemerdekaan indonesia tanggal 17 Agustus 1945  ruang demokrasi yang luas untuk kepartaian terbuka lebar akan tetapi pada saat PPKI sebagai dewan konstituante  memutuskan membentuk satu partai tunggal dengan pertimbangan bahwa sistem multi partai akan memecah belah rakyat dan akan menimbulkan kekacauan dengan demikian di bentuklah Partai Nasional Indonesia.Tujuan utama pendirian partai ini adalah untuk memperkuat persatuan bangsa dan negara serta membela republik indonesia yang berdaulat, adil dan makmur .Inilah kebutuhan di dirikannya Partai Nasional Indonesia akan tetapi ketika terjadi protes  rakyat dan elit politik yang tidak setuju dengan satu partai tunggal maka pemerintah melalui wakil presiden M. Hatta mengeluarkan maklumat yang pada intinya berisi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Maklumat itu kemudian dikenal dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Partai politik yang muncul setelah Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 dikeluarkan antara lain Masyumi, Partai Komunis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Parkindo, Partai Rakyat Jelata, Partai Sosialis Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katolik, Permai, dan PNI serta partai - partai kecil lainnya.
Dari terbukanya ruang demokrasi ini pemilu di anggap satu-satunya solusi untuk memilih pemimpin atau mengatur berbagai kebijakan negara dalam mengurus serta membagi kewenangan pemerintahan.
Di masa awal kemerdekaan ini partai politik belum berperan secara optimal sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Hal ini terlihat dari timbulnya berbagai gejolak dan ketidak puasan di sekelompok masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk gerakan-gerakan separatis seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun 1949, terbentuknya negara-negara koloni baru belanda yang bernuansa kedaerahan.Negara-negara baru ini sengaja diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan. Namun mengapa hal itu terjadi dan ditangkap oleh rakyat  di wilayah  itu? Jawabannya adalah bahwa aspirasi rakyat berbelok arah mengikuti aspirasi penjajah, Karena tersumbatnya saluran aspirasi yang disebabkan kapasitas sistem politik. Negara baru buatan belanda ini sesungguhnya  merupakan politik “devide at impera” Belanda. Belum cukup memadai untuk mewadahi berbagai aspirasi yang berkembang. Di sini boleh dikatakan bahwa rendahnya kapasitas sistem politik, lebih disebabkan oleh karena sistem politik masih berada pada tahap awal perkembangannya.Artinya kondisi ini bisa di maklumi.
2.      Partai Politik di Masa Orde Lama.
Peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentingan partai dan/ atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai akibat dari pada itu  adalah terjadinya ketidak stabilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, partai politik tidak berfungsi dan politik dijadikan panglima, aspirasi rakyat tidak tersalurkan akibatnya kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa kepentingan politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak puasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak disertai dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.
3.      Partai Politik di Masa  Orde Baru.
Peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dicoba ditata melalui UU No. 3 Tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyak di tata menjadi 3 kekuatan sosial politikyang terdiri dari 2 partai politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik tersebut ternyata tidak membuat semakin berperannya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. Partai politik yang diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal menjadi kebijakan publik yang populis tidak terwujud. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan publik yang dihasilkan pada pemerintahan orde baru ternyata kurang memperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Akibatnya pembangunan nasional bukan melakukan pemerataan dan kesejahteraan namun menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat oleh pemerintahan orde baru tidak ditempatkan sebagai kekuatan politk bangsa tetapi hanya ditempatkan sebagai mesin politik penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan semata. Akibatnya peran partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul terbukti nyaris bersifat mandul dan hampir-hampir tak berfungsi.
4.      Partai Politik di Masa Reformasi.
Di masa inilah partai politik,mendapatkan ruang yang luas  untuk mewujudkan wujud diri sebagai organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Namun harapan ini membentur pada konflik antara partai politik  dimana dalam pemilu 1999,  terjadi penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.Ini artinya partai politik menyuarakan kepentingan rakyat akan tetapi secara dalam hubungan dengan partai berada dalam masaha ketidak profesionalan.Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam (PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok “Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan, kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau Negara lain (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan perubahan terhadap UUD 1945  dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan amandemen merupakan tindakan yang diharamkan walau terdapat beberapa amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Dan tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan kepentingan rakyat[5].
Kemudian alam kepemimipinan Megawati Soekarno purti kekuatan kepartaian terus menguat terutama persaingan politik antara aliran politik nasionalis dan aliran politik agamis.Golongan Karya bagaimanapun juga mempunya hubugan historis yang tidak perna berbarengan degan PDI - Perjuangan.Kekuatan nasionalis terpecah menjadi dua bagian.Peluang ini di manfaatkan kelopok nasionalis lainnya untuk menaikan citra politik masanya dengan melakukan pembusukan dari luar terhadap partai-partai lama yang berkuasa .Dalam pemilihan Umum 2004 Partai Nasionalis aliran nasionalis – religus yakni demokrat memenagkan pemilihan presiden secara langsung.SBY – JK .Golkar memainkan JK sebagai calon dari partai Golkar dan kolaborasi yang menarik mernjadi kekuatan yang cukup sepurna dan Persoalan lain adalah degan adanya partai politik yang terlalu banyak dalam pemilu setelah selesai pemilihan umum presiden dan legislatif dan eksekutif di puat daerah propinsi,kabupaten/kota mengalami masalah yang berkebanjangan yang kemudian berdampak pada tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi hamper di seluruh Indonesia.Dengan sejumlah masalah yang banyak dalam dalam pemilihan-pemilihan umum partai politik di Indonesia mendapat riuang yang besar dan menda[patkan pemasukan dari para kandidikat yang maju menjadi  calon di legislattif maupun di eksekutif.Peran partai politik semakin kuat  dabn semakin tidak terkontrol dalam pemilihan umum 2009 Partai politk tetap menjadi lembaga yang sakral untuk menentukan karir politik para politisi yang hendak mencalonkan diri.Karena partai politik sudah menjadi lembaga yang moderat di pemilihan umum 2009 untuk pemilihan presiden SBY merangkul orang netral dan sebagai ekonom dan itu adalah suatu strategi yang menarik sehingga dalam pemilihan umum 2009 SBY - Boediyono menang dalam pemilihan umum 2009 dan yang menjadi pertanyaan hingga hari ini partai demokrat menang dalam pemilihan umum 2009 dari mana kemenagan itu dan bagaimana kemenagan itu sampai hari ini pertanyaan itu menjadi misterius dan belum ada jawabannya.Kasus Cikias di angkat dalam rangkaian menjawab pertanyaan itu akan tetapi kasus cikias menghilang begitu saja.Kasus Ceanturypun demikian ,Kasus Mafia Pajakpun demikian dan berbagai kasus korupsi di masa kepemimpina SBY-JK dan SBY-Boediyono saat ini.
Partai politik menjadi kendaraan politik yang mempunyai legitimasi yang kuat akan tetapi kepentingan rakyat sudah tidak lagi terlihat secara nyata oleh karena partai politik menjadi alat elit politik.


1. Schattscheider (1942), Party Government, New York, Farrar & Rinehart, Inc., 1942. xx, 220 pp.

[2] Jean Jacques Rousseau1762, The social contract Or principles of political right,Translated by G. D. H. Cole, public domain Rendered into HTML and text by Jon Roland of the Constitution Society.
[3] . H. Ross Perot ,(199), United We Stand., Text of the book published by Perot in 1992 to mark the launch of his Presidential campaign, complete with charts. The text is hosted by the site of the organization he created that year United We Stand America, as saved by The Internet Archive..
[4] Miriam Budiardjo,2007,Dasar-dasar Ilmu Politik,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta edisi revisi.hal.171.
[5] Kegagalan membentuk Komisi Konstitusi yang dilakukan DMR dalam siding tahunan 2001 menimbulkan gelombang protes dari organisasi non pemerintah-LSM, mereka menganggap kegagalan tersebut sebagai manifestasi keengganan Majelis. Begitu juga dari Koalisi Organisasi Nonpemerintah (Ornop) untuk Konstitusi Baru, Hendardi sebagai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusioa Indonesia (PBHI) meyerahkan cinderamata kepada MPR antara lain berupa korek kuping raksasa serta cek multiguna Rp 100 juta bertuliskan “alat penyogok yang sah untuk Dewan bukan Perwakilan Rakyat” karena telah menyerahkan atau melimpahkan pembentukan Komisi Konstitusi ke Badan Pekerja (BP) MPR yang sesungguhnya tidak lebih dari proses sebelumnya, yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Lihat Heru Cahyono, Ibid., hal. 18.